Muslihat Penambang Liar di Kebun Karet
Banyuasin-Penambangan liar di Desa Sako dan Desa Tanjung Marbu berkomplot dengan sekelompok oknum guna meraup keuntungan berlimpah. Semua sopir truk pengangkut tanah berlomba-lomba mengais rezeki dari lokasi galian tambang ilegal di perbatasan dua desa di Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel) itu. Para penadah tanah dan sekelompok oknum ikut bermain. Tipu daya dikerahkan demi mengeruk cuan dari harga tanah timbunan Rp 150 ribu/mobil. Penelusuran media ini membongkar “kongkalikong” antara oknum warga dan beberapa orang pengusaha terjalin rapi di dua desa itu.
Telepon seluler Indra (Nama Samaran) berdering pada sebuah pagi pertengahan Juni 2017 lalu. Seorang sopir truk pengangkut tanah menghubunginya meminta pria 47 tahun itu kesebuah lokasi galian tambang di perbatasan desa sako dan desa tanjung marbu. “Bos nyuruh ke lokasi galian,” ujarnya. Sebagai sopir truk pengangkut tanah, Indra tahu siapa yang dimaksud “Bos”. Ia bersiap meluncur dari rumahnya.
Di lokasi galian tambang itu, seorang pria bernama Didi menyambutnya. Si “bos” yang juga pemilik lokasi galian tambang liar itu menyampaikan keinginannya. “Tolong, antarkan tanah,” kata Didi membuka percakapan, seperti ditirukan Indra kepada media ini, pekan lalu.
“Untuk apo?” Tanya sopir truk pengangkut tanah yang biasa mengantarkan tanah timbunan itu.
“Untuk nembon rumah pribadi,” kata Didi.
Desa Sako adalah salah satu desa penghasil tanaman karet seluas ratusan hektare, dan selalu mendapatkan predikat sebagai salah satu desa terbaik di Kabupaten Banyuasin. Tingkat kepadatan penduduknya mencapai lebih dari 1500 kepala keluarga. Layaknya daerah pertanian, area kebun karet seluas ratusan hektare itu kini telah berubah menjadi tandus. Kenapa, karena dalam beberapa tahun terakhir mulai bermunculan para penambang liar di desa itu.
Beberapa tahun kemudian Indra baru sadar. Sesungguhnya tak ada niat serius dari pemilik kebun disana untuk menggeluti bisnis pertanian. Bukan, bukan itu tujuan yang sesungguhnya. Yang dicari adalah keuntungan dari menjual tanah timbunan kepada perusahaan pemilik izin usaha pertambangan yang berbisnis tanah urug di Palembang.
Demi tujuan itu, beberapa penambang liar, diketahui telah memiliki banyak tanah disana. Mereka yang diketahui memiliki banyak tanah di beberapa desa di Kecamatan Rambutan, dijuluki sebagai bos galian tambang. “Informasi ini dibenarkan orang dekat Didi, pemilik galian tambang di desa itu,” Reza (Nama Samaran),” ujar Indra.
Bukan cuma Didi yang berbisnis tanah timbunan di beberapa Desa di Kecamatan Rambutan. Namun ada juga nama-nama lain yang terkenal diantara para penambang liar di desa itu adalah dua orang oknum kepala desa, yakni, Agen dan Budi.
Maklum, bisnis jual-beli tanah timbunan di kawasan ini menjanjikan keuntungan berlimpah. Tapi lihat akibatnya, gara-gara merekalah, terjadi kerusakan lingkungan di desa-desa itu. Desa Tanjung Marbu, Sako, dan Desa Durian Gadis. Semua lingkungan di desa-desa itu rusak karena dimanfaatkan untuk galian tambang dalam beberapa tahun terakhir.
Semua lingkungan di desa-desa itu hancur berantakan karena aktivitas galian tambang ilegal. Akibatnya, boro-boro direklamasi, lubang-lubang besar bekas tambang dibiarkan begitu saja oleh para penambang liar,” kata Indra.
Kerusakan lingkungan ini ternyata tak membuat berang pemerintah dan aparat penegak hukum. Apalagi sejumlah anggota BPD dan Kepala Dusun serta Kepala Desa juga ikut-ikutan menghalang-halangi masyarakat dibeberapa desa itu untuk melakukan penutupan terhadap galian tambang sejak pertama kali dilaporkan beberapa tahun lalu.
Gerak para penambang liar akhirnya mendatangkan masalah bagi warga setempat dan lingkungan. Kebutuhan akan tanah timbunan yang meningkat makin memperbesar ambisi para penambang liar untuk meraup cuan dari bisnis jual-beli tanah timbunan.
ADENI ANDRIADI