Modus Operandi Koruspi Semakin Canggih dan Mengancam Demokrasi
JAKARTA – Korupsi sudah jadi masalah yang sangat serius dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi (transparansi, akuntabilitas, integritas serta keamanan dan stabilitas nasional. Korupsi terjadi secara sporadis, terkolaborasi dengan modus operendi yang semakin canggih.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, DR. Ketut Sumedana ketika menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Produksi Iklan Layanan Masyarakat (ILM) dengan tema “Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi” yang dilaksanakan oleh Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan; Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Rapat Koordinasi Produksi Iklan Layanan Masyarakat (ILM) dihadiri oleh Plt. Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri dan Deputi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo.
Adapun maksud dan tujuan dari Rapat Koordinasi Produksi Iklan Layanan Masyarakat (ILM) ini yaitu menghimpun masukan dari para pakar guna menyampaikan pesan yang tepat kepada masyarakat terkait isu penegakan hukum tindak pidana korupsi serta meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya menumbuhkan budaya anti korupsi.
Menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung, isu korupsi juga sering dijadikan komoditas politik baik di tingkat daerah, nasional, dan internasional (untuk melemahkan bargaining politik dan merebut kekuasaan serta korupsi sering dijadikan kepentingan politik yang abadi (sulit dihapus).
Strategi pencegahan korupsi dari segi internal maupun eksternal pemerintah. Dari internal pemerintah,strategi yang dilakukan yakni kemauan politik dan komitmen pimpinan, meningkatkan penghasilan pegawai, pemberlakuan kode etik, reward and punishment, serta sistem pelayanan e-governance and e-procurement.
“Sementara itu, strategi dari eksternal pemerintah yakni sistem politik biaya tinggi merembet birokrasi, reformasi hukum, reformasi birokrasi, pers bebas, catch big fish / efek jera / hukuman tinggi serta public awarness,” ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung.
Pergeseran Paradigma
Sementara dalam RDP dengan Komisi III DPR RI, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Febrie Adriansyah mengatakan, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam penanganan tindak pidana korupsi yang awalnya represif menjadi preventif, karena penegakan hukum tidak lagi menitikberatkan kepada seberapa banyak perkara korupsi yang ditangani dan pelaku yang dihukum.
“Namun lebih kepada upaya untuk menjamin satu wilayah bebas dari korupsi, serta bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan dengan menggunakan metode follow the money guna memaksimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil penyelamatan keuangan negara,” ujarnya.
Maka, ujar JAM-Pidsus bahwa salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah dengan membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK) agar penanganan tindak pidana korupsi yang memiliki impact yang besar terhadap keuangan maupun perekonomian negara.
Selanjutnya, JAM-Pidsus menjelaskan, upaya yang dilakukan untuk optimalisasi penyelamatan keuangan negara yang dilakukan oleh bidang tindak pidana khusus adalah dengan mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang dilaksanakan melalui beberapa strategi.
Strategi itu, yaitu pertanggungjawaban pidana tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan, akan tetapi juga subyek hukum korporasi. Tujuannya, pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi, sehingga memunculkan efek penjeraan tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara, karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda.
Lalu penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara, tetapi juga pembuktian unsur merugikan perekonomian negara.
Pengoptimalan ini dipandang perlu karena penanganan perkara tindak pidana korupsi saat ini hanya menitikberatkan kepada pemulihan keuangan negara. Sedangkan di sisi lain kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi pedoman standar penanganan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
“Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara sering kali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multiplier economy impact yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” ujar JAM-Pidsus.
Selanjutnya, kata JAM-Pidsus, adalah penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi.
Penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang (TPPU) selain untuk efek penjeraan, juga sebagai upaya untuk penyelamatan keuangan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Adapun strategi atau upaya diatas diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi dan efek penjeraan (deterrent effect) kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Kemudian, optimalisasi asset recovery sebagai upaya penyelamatan dan pemulihan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang terjadi sebagai akibat tindak pidana korupsi serta meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai kemanfaatan praktis pencegahan dan penindakan tindak pidana korups. (*)