M.Fajar Cahyana: BPK RI & KPK DIMINTA PERIKSA DUA PROYEK SEDOT DUIT NEGARA DI LAHAN PTPN 8 GUNUNG MAS

BOGOR – Kini masalah sengkarut di pengelolaan eks PTPN 8 GUNUNG MAS Puncak makin meluas dan lebar ,dimana alih KSO pada pihak ketiga atau penyewa dilahan gunung mas berdampak pada reaksi elemen masyarakat khususnya sekitar kawasan puncak.
Bahkan selain itu dikawasan puncak ini ada dua proyek menyedot anggaran keuangan negara yakni APBN & APBD dilahan gunung mas yakni Rest Area dan wisata BUMD Jabar PT.Jaswita yang mulai disoroti soal anggaran negara dan azas manfaat atas proyek tersebut .
Hingga potensi atas kerusakan lingkungan dan dampak sosial serta dugaan potensi pendapatan negara yang menguap di manajemen Gunung Mas dalam menjalankan HPL awal dalam perkebunan teh hingga merugi perlu disorot dan perlu pula diaudit apakah dasar payung hukum dengan dalih KSO tersebut benar dan tepat sesuai bisnis plan perusahaan atau benarkah hal ini dapat berpotensi atas kecurangan dan hilangnya sektor pendapatan atas perkebunan negara itu?
Sumber yang dihimpun wartawan dari beberapa aktifis Anti korupsi Bogor Raya menghawatirkan hal tersebut .
” Dua proyek Dilahan gunung mas yakni Rest Area dan Wisata BUMD Jabar PT Jaswita Perlu disorot dan didalami karena ini mengunakan keuangan negara baik APBN juga APBD.
Ada hal mendasar atas lahan negara eks PTPN 8 ini karena berstatus HPL.
Karena HPL perkebunan mas sesuai aturanya tidak bisa dipindah tangankan pada pihak yang lain apalagi beralih fungsi .
HPL Bukan Merupakan Hak atas Tanah sebagaimana HM, HGU, HGB, dan HP maka
Hak Pengelolaan (HPL) bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA).
HPL adalah sebagian dari tanah negara yang kewenangan pelaksanaan Hak Menguasai Negara (HMN) yang dilimpahkan kepada pemegang HPl itu.
Bahkan tentang Kedudukan HPL dalam Sistem Hukum Tanah nasional jelas di dalam UU PA tidak secara eksplisit mengatur tentang HPL ini.
HPL ini tersirat dalam Pasal 2 ayat (4) UU PA yang berbunyi “HMN tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut peraturan pemerintah.
Hal ini berimplikasi bahwa HPL hakikatnya bukan hak atas tanah gempilan dari HMN” tegas M.Fajar Cahyana aktifis Bogor Raya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa HPL tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (HT).
“Namun, di atas HPL ini dapat diberikan hak atas tanah HGB/HP dengan SPPT (Surat Perjanjian Penggunaan Tanah-red),” ujar dia.
Ia menguraikan bahwa subjek HPL antara lain, instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) PT Persero, badan otorita, dan badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Ia berpendapat saat ini diperlukan perundang-undangan tentang HPL yang mendudukkan kembali fungsi HPL pada fungsi semula sebagi kewenangan publik.
Ini tentu perlu didalami lembaga dan instansi negara ditingkat pusat ini masalah serius soal kelestarian dan keseimbangan ekosistem nasional puncak yang merupakan daerah serapan dan keseimbangan Ekosistem .Jangan sampai ada pihak mengkail untung dengan menabrak aturan negara itu sendiri” tegas M.Fajar .
” Ada azas dan prinsip penyelenggara pemerintahan yaitu taat dan tertib Hukum.
Masa aturan yang ada ditabrak dan dikangkangi,nah itu dasar analisanya .
Soal adanya pola KSO ( Kerjasama Operasional ) di PTPN 8 Gunung Mas di Cisarua Bogor ,tentu ini perlu dikaji dan ditelaah mendalam atas pijakan aturanya dan dampak atas KSO itu juga telah menganggu dan mengancam Kelestarian Alam
Areal perkebunan teh yang ada dan pula dalam fakta terjadi alih fungsi awal yakni usaha perkebunan teh tapi tempat wisata tidak ramah lingkungan dengan fakta pembabatan pohon teh.
Contoh nyata hal itu saat ini pada
Kerja Sama Operasional (KSO) dan over alih garapan perkebunan teh produktif PTPN 8 Gunung Mas blok C 5 yang berbatasan dengan areal yang di kuasakan PT. Jaswita dan PT. AK Pancawati memicu polemic di tingkat tapak, khususnya para pegiat lingkungan hidup di kawasan Puncak Bogor.
Dampak di bukanya lahan teh produktif di kawasan itu akan memicu pembangunan massif yang mengurangi fungsi resapan dan konservasi alam di kawasan Puncak Bogor” ujar M.Fajar Cahyana ,Selasa (12/12).
Hal lainnya adalah proyek
Rest area Gunung Mas,yang telah pula mengunakan lahan gunung mas seluas 7 Hektar berupa hamparan kebun teh dimana faktanya hingga kini pengelolaan Rest Area belum difungsikan sesuai janji dan komitmen Bupati Bogor waktu itu ,Ade Yasin hingga dinilai proyek ini mubazir dan tidak tepat sasaran dan manfaat dalam menyelesaikan masalah PKL jalur puncak.
Tentu dengan fakta itu pihak penyidik yakni KPK dan auditor BPK RI harus mendalami masalah ini karena negara yang terserap ratusan Puluhan Millyar bukan main- main.
Dua proyek raksasa itu yang mengunakan uang APBN dan APBD ,Puluhan Milyar tentu saja sudah cukup untuk pengembangan penyidikan tenang azas pengelolaan keuangan negara .
Soal dalih potensi dan aset pariwisata Jabar dan wisatawan perlu dikembangkan penyidik dengan memanggil sekda dan aparatur terkait dikabupaten semisal PUPR,Dinas Pariwisata ,Disdagin serta juga pihak manajemen gunung mas didalami atas HPL dan laporan keuangannya serta mengaudit hamparan luas serta berapa sisa kebun teh real yang ada dari perkebunan itu untuk di komersilkan dengan resiko alih fungsi akan semakin besar lagi harusnya di buka tapi untuk penghijauan “kata dia.
Lainnya ditekankan bahwa dengan dalih pariwisata , Pemerintah Provinsi Jawa Barat seolah membiarkan terjadi okupasi lahan di daerah resapan yang seharusnya kawasan tersebut di jadikan area penghijauan.
Meski secara real Pemegang Konsesi lahan tersebut adalah BUMD milik Pemerintah Propinsi Jawa Barat , Pengembangannya di khawatirkan justru terjadi kerusakan alam dengan di bangunnya fasilitas wisata apalagi jika lahan itu nantinya kembali di sub kelolakan pada pihak berikutnya,jumlah ruang terbuka hijau di kawasan itu semakin sedikit dan berdampak kekeringan panjang saat kemarau serta banjir atau longsor saat hujan saat intensitas tinggi karena tidak ada lagi resapan air pada pohon teh yang tadinya ada,papar dia.
(Red03)



