Proyek PT Aquatec Rekatama Konstruksi di Pemalang Diduga Berjalan Tanpa AMDAL

PEMALANG – Proyek pembangunan pabrik milik PT Central Windu Sejati yang berlokasi di dua desa, Jatirejo dan Ujung Gede, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang, menuai sorotan tajam dari masyarakat. Proyek yang saat ini tengah dikerjakan oleh kontraktor PT Aquatec Rekatama Konstruksi diduga berjalan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang semestinya menjadi syarat wajib dalam setiap kegiatan usaha yang berdampak pada lingkungan.
Temuan ini mencuat setelah sejumlah warga dan pejabat desa mengonfirmasi bahwa hingga kini belum ada sosialisasi resmi maupun dokumen persetujuan lingkungan yang disampaikan kepada pemerintah setempat.
Dalam penelusuran awak media, pihak jurnalis mendatangi dua kelurahan tempat proyek berdiri. Salah satu lurah yang enggan disebut namanya mengaku telah mendapat permintaan tanda tangan dari pihak kontraktor untuk melengkapi administrasi, namun menolak memberikan persetujuan karena tidak pernah ada sosialisasi resmi kepada warga maupun pemerintahan desa.

“Gimana mau tanda tangan, sosialisasi aja belum, Mas. Kami nggak mau ambil risiko yang bisa menyeret kami nanti. Beban kerja saya sudah banyak, malah dikira saya dapat amplop dari kontraktor,”
ungkap sang lurah saat ditemui awak media Tipikor Investigasi di kantor kelurahan, Selasa (22/10).
Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa proyek tersebut belum memenuhi ketentuan administratif dan lingkungan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Keterangan senada disampaikan oleh salah satu warga yang aktif memantau aktivitas proyek. Ia mengaku sempat mengonfirmasi langsung ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pemalang, dan bertemu dengan Kepala Bidang AMDAL, Umar.
Menurut Umar, hingga saat ini belum ada surat undangan atau pengajuan tata ruang terkait proyek pembangunan pabrik tersebut.
“Dari DLH sendiri belum menerima pengajuan atau permintaan rapat tata ruang untuk AMDAL proyek PT Central Windu Sejati,” ujar sumber tersebut menirukan pernyataan Umar.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan warga: bagaimana proyek sebesar itu bisa berjalan tanpa dasar izin lingkungan yang sah?
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 22 disebutkan bahwa setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL.
Aturan ini bahkan diperkuat dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 menjadi undang-undang, yang menyatakan AMDAL sebagai bagian dari perizinan berusaha.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 mengatur lebih rinci mengenai tata cara penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, di mana AMDAL menjadi dasar untuk penerbitan persetujuan lingkungan dan izin usaha.
Apabila proyek tetap berjalan tanpa dokumen tersebut, maka telah terjadi pelanggaran hukum serius yang berpotensi berujung pada pencabutan izin usaha, penghentian proyek, atau sanksi administratif dan pidana sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Lebih jauh, pihak lurah juga menyayangkan adanya keterlibatan salah satu kepala desa dari wilayah lain yang ikut terlibat dalam aktivitas proyek, padahal jelas proyek tersebut belum memiliki dasar hukum AMDAL.
“Kami juga heran, ada kepala desa lain yang ikut serta di proyek itu, padahal jelas-jelas belum ada AMDAL-nya. Kok bisa aparatur pemerintahan ikut terlibat dalam pekerjaan seperti itu?” ujar sang lurah dengan nada kecewa.
Situasi ini menimbulkan dugaan kuat adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum pejabat tertentu di balik berjalannya proyek tersebut.
Bagi sebagian warga, hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan dari DLH Pemalang serta instansi-instansi terkait yang seharusnya bertanggung jawab dalam memastikan kepatuhan terhadap aturan lingkungan.
“Kalau DLH tegas, seharusnya proyek ini dihentikan dulu sampai izin AMDAL keluar. Tapi kenyataannya, alat berat tetap beroperasi, dan warga cuma bisa melihat tanpa penjelasan apa-apa,” kata salah satu warga Jatirejo yang tinggal tak jauh dari lokasi proyek.
Masyarakat berharap agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum turun tangan memeriksa kelengkapan izin proyek tersebut. Mereka menuntut transparansi, serta agar tidak ada lagi proyek besar yang dijalankan dengan mengabaikan aturan lingkungan hidup.
“Kalau terus dibiarkan, nanti yang rugi kami juga — lingkungan rusak, banjir, jalan hancur, tapi warga nggak pernah diajak bicara,” ujar warga lainnya yang menolak disebutkan namanya.
Kasus dugaan proyek tanpa AMDAL ini menjadi cerminan lemahnya pengawasan tata kelola lingkungan di tingkat daerah.
Ketika prosedur diabaikan, hukum dilewati, dan pejabat setempat memilih diam, maka rakyat dan lingkunganlah yang menjadi korban utama.
Kini, masyarakat Pemalang menunggu langkah tegas dari Dinas Lingkungan Hidup, Pemerintah Kabupaten Pemalang, dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa setiap proyek pembangunan berjalan berdasarkan aturan, keadilan, dan tanggung jawab terhadap lingkungan.(Agus Tarsono)



