Oligarki Sebabkan Masyarakat Tanjung Marbu Tak Berani Melapor
RAMBUTAN-KOORDINATOR Gerakkan Barisan Komitmen Konstitusi Sriwijaya (Gebrakk Sriwijaya) Sumatera Selatan (Sumsel) Nababan SH, mengatakan masyarakat Desa Tanjung Marbu Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin mengalami budaya diam atau silent culture akibat menguatnya oligarki.
Nababan menjelaskan, sumber daya alam berupa tanah yang melimpah di desa itu tak berbanding lurus dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, masyarakatnya tidak bisa apa-apa dan bersuara.
“Karena kalau ngomong akan menerima resiko baik secara verbal maupun fisik. Mengalami silent culture” ujar Nababan dalam diskusi bersama wartawan, Senin, 20 Juni 2022.
Nababan mengatakan, banyak media dan LSM tidak berani mengekspose oligarki yang merusak alam dan lingkungan di desa itu. Bahkan ketua BPD di desa itu juga memilih untuk “tidur” dan masa bodoh.
Pengacara yang kerap keluar masuk ruang sidang pengadilan membela masyarakat ini menyebut, para anggota BPD didesa setempat banyak mengalami penjinakan karena kekuatan uang. “Masuk dalam lingkaran oligarki,” kata dia.
Ibarat sepakbola, Nababan mengatakan bahwa oligarki tidak perlu menendang bola tapi cukup mengatur irama permainan dan bisa mentransfer pemain yang bisa dijadikan ujung tombak.
Kepala desa sebelumnya secara syariat memang hasil Pilkades, tapi secara substantif yang sejati penguasa itu adalah pemilik modal karena membiayai pilkades yang mahal. Sehingga, kata Nababan, kebijakan pemerintah desa tersandera. “Pengelolaan dana desa dan lain-lain”.
“Pemerintah desa dan wakil rakyat (BPD) menjadi instrumen persekongkolan antara oligarki dan pemilik modal. Ada sebuah kepentingan yang mempertemukan kepentingan baik secara pribadi pun kelompok golongan tertentu. Ada tukar menukar kepentingan,” katanya.
ADENI ANDRIADI