PENDIDIKAN

Memahami – Menangani Perilaku Merokok pada Siswa SMPN 4 Jejawi

OKI-Dalam dunia pendidikan, rokok merupakan ancaman yang besar bagi siswa. Perilaku merokok yang ditampilkan sebagian siswa mempresentasikan hal negatif.

Bahkan, bila siswa menjadi perokok aktif, amat mungkin mereka akan mengalami burn out, drop out, dan pendidikan akan selesai.

Dalam jangka panjang, jika para siswa tidak menyelesaikan pendidikan, memiliki minat belajar yang rendah, negara akan menanggung kerugian sumber daya manusia yang tidak ringan, semisal menjamurnya patologi sosial.

Ketika seorang siswa sedang dalam keadaan jenuh, sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan jalan di tempat.

Bila kemajuan belajar jalan di tempat ini kita gambarkan dalam bentuk kurva, yang tampak adalah garis mendatar yang lazim disebut plateau.

Jika kejenuhan belajar dibiarkan begitu saja, siswa dapat mengalami tekanan mental dan stagnansi hasil belajar. Mereka akan cenderung berleha-leha dan tidak mampu merespon pembelajaran.

Kelelahan emosional yang dialami oleh siswa mengakibatkan siswa berlari dari ketegangan emosi menuju perilaku terlalu santai, seperti merokok akan sulit menahan nafsu oral untuk menghisap sehingga akan keluar kelas, membolos, bahkan drop out.

Tidak sedikit siswa perokok yang berawal dari hambatan akademik. Umumnya, mereka tertinggal dalam mengikuti pelajaran, kurang mendapat stimulasi belajar sesuai dengan kapasitas mental, dan diabaikan guru.

Siswa dengan permasalahan akademik, seperti anak yang tinggal kelas, dan memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghargaan diri.

Dalam berbagai perbincangan dengan para orang tua siswa dan guru sekolah, penulis sering mendapat narasi kekhawatiran mereka tentang perilaku merokok para siswa. Tragisnya, banyak siswa yang merokok di WC sekolah.

Mirisnya lagi, tidak sedikit siswa perokok itu berasal dari keluarga prasejahtera sehingga kebiasaan merokok akan menggungcang perekonomian keluarga. Semua orangtua berharap anak-anak mereka dapat memutuskan mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, tapi nyatanya mereka ditampar kenyataan bahwa anak-anak mereka tidak benar-benar mendapatkan proses belajar mengajar yang efektif.

Anak-anak mereka lebih memilih merokok, membolos, dan berperilaku negatif. Sebagai upaya merespon perilaku merokok di disekolah, secara repetitif, guru dan kepala sekolah harus melakukan upaya preventif, misalnya, razia rokok. Upaya semacam ini jelas akan membuahkan hasil. Setidaknya, pihak sekolah bisa menandai siswa-siswinya yang membawa rokok dilingkungan sekolah.

Celakanya, umpan balik dari razia rokok di sekolah tak selalu efektif. Banyak guru dan kepala sekolah yang merespon perilaku merokok dengan negatif, terburu-buru menghakimi siswa, dan memberi label negatif pada siswa perokok.

Padahal, sikap pendidik yang demikian itu justru menambah tekanan psikis pada siswa. Banyak guru dan kepala sekolah lupa bahwa sangat bisa jadi siswa merokok bukan karena sebuah keinginan, melainkan karena jebakan pergaulan dan budaya.

Menjadi siswa perokok, abai terhadap tugas dan peraturan sekolah, dan nasehat orangtua bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Jauh di dalam lubuk hati siswa perokok mengemuka kesadaran bahwa mereka ingin berubah.

Pun begitu, tak banyak pendidik dan orangtua yang bisa memberikan pelita bagi siswa perokok. Segaris dengan hal itu, tidak banyak pula pendidik yang mau memahami dan berjuang mengentaskan siswa dari perilaku merokok. Bahkan agenda untuk mencegah perilaku merokok pada siswa pun luput dalam catatan penting.

Guru dan kepala sekolah tidak bisa mengelak bahwa setiap dari mereka seyogyanya harus memberikan perhatian besar kepada siswa, terutama mengenai pencegahan perilaku merokok.

Tanpa proteksi sekolah, beberapa anak dengan predisposisi tertentu rentan mengkonsumsi rokok. Salah satu penyebab anak menjadi perokok aktif yang perlu diwaspadai ialah kelelahan emosional.

Kelelahan emosional dapat dirasakan siswa dapat menjurus pada keinginan untuk merokok. Salah satu penyebab kelelahan emosional siswa ialah kegagalan akademik. Dan kegagalan akademik dapat menurunkan kepercayaan diri dan orientasi penguasaan, menurunkan kepercayaan diri, dan menimbulkan reaksi negatif.

Merokok merupakan salah satu reaksi negatif dari siswa yang gagal secara akademik. Pada poin inilah, sekolah perlu merekonstruksi ulang persepsi pembelajaran.

Guru perlu menaruh apresiasi atas proses daya juang belajar siswa dan tak melulu pada hasil. Paradigma bahwa setiap anak memiliki individual differences harus dipegang dengan komitmen kuat.

Perlu disadari guru tak hanya menjadi fasilitator belajar bagi siswa. Selain membimbing belajar, guru perlu membekali siswa dengan keterampilan self management.

Pada gilirannya, self management dapat menjadi modal siswa untuk membelajarkan apa yang seharusnya dipelajari sekaligus membelajarkan bagaimana belajar.

Selain mengatasi kejenuhan belajar siswa, sekolah dapat melakukan pendekatan individual dan kelompok. Siswa perokok membutuhkan pendampingan dan bukan kemarahan, apalagi label negatif siswa nakal.

Perilaku merokok pada siswa perlu mendapat penanganan khusus dari sekolah. Guru perlu memberikan perhatian khusus kepada siswa perokok, terutama yang berkaitan dengan keadaan emosi siswa.

Guru perlu mendalami kondisi psikologis siswa terutama ketika merokok menjadi ekspresi atas kejenuhan belajar, frustasi, dan rasa tertekan. Disisi lain guru perlu memberikan pengawasan maksimal, membangun suasana persahabatan di dalam kelas, sehingga setiap siswa akan merasa nyaman, tidak terancam, dan merasa mendapatkan penerimaan positif.

Sebagai strategi tambahan, guru perlu mengubah persepsi siswa bahwa merokok bukanlah lambang kejantanan dan popularitas. Guru dapat memberikan edukasi menolak rokok kepada siswa.

Agar ajakan untuk menolak rokok menjadi lebih berdaya, hendaknya nasihat disampaikan guru yang memiliki figur otoritas. Pun begitu, dinas pendidikan memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah, yakni, mencetak guru yang diakui sebagai figur otoritas siswa.

Guru yang mampu menjadi figur otoritas bagi siswa akan mendapat tempat di hati siswa. Dengan demikian, ucapan, perbuatan, dan nasihatnya akan dijadikan pegangan hidup. Guru ini mampu menerima siswa, memahami, mendekati, dan menyampaikan pesan-pesan moral secara efektif.

Beberapa pesan moral yang penting disampaikan agar siswa tidak terjebak pada perilaku merokok di antaranya, kerja keras, hidup sederhana, dan berdaya juang. Setidaknya, tiga sikap dasar tersebut mampu mengarahkan siswa untuk tidak boros, gigih dalam belajar dan mengatasi hambatan belajar, serta memiliki motivasi berprestasi.

Apabila guru di SMPN 4 Jejawi mampu menyampaikan mengarahkan siswa untuk tidak merokok, tentu pelajar di SMPN 4 Jejawi akan menjadi generasi cemerlang yang berdaya.

Adeni Andriadi

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *