Dipertanyakan, Ketua Majelis Hakim Memvonis Terdakwa Tanpa Didahului Membaca Pertimbangan

BOGOR – Dipertanyakan, Ketua Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa tanpa didahului membacakan pertimbangan sebagai dasar putusan. Pertanyaan itu disampaikan oleh Penasehat Hukum (PH) korban Suhendro dimana barang miliknya telah dirusak dengan sengaja oleh pelaku.
Adanya pertanyakan itu diungkapkan oleh PH Amir Amirruloh setalah mendengar Ketua Majelis Achmad Taufik langsung memvonis terdakwa Dedi Sumardi dan Sahroni alias OP pada sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Kabupaten Bogor, Selasa pekan ini.
Menurut Amir, apapun alasannya Hakim Ketua Taufik seharusnya terlebih dahulu membacakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan data dan keterangan yang disampaikan para saksi serta yang terungkap selama persidangan demi keadilan untuk hukum, khususnya bagi korban.

“Dengan tidak dibacakannya pertimbangan hukum sebagai dasar putusan, jelas dan terang hal tersebut telah merugikan klien kami Suhendro, karena tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan hukumnya, klien kami mengaetahuinya sebagai informasi,” ujarnya, Rabu (30/10/25) di Cibinong.
“Padahal, pertimbangan hukum putusan bisa dijadikan pelajaran dan catatan, bahkan menjadi Yusrisprudensi bagi Mahkamah Agung RI ketika menemukan perkara yang sama. Tetapi dengan tidak dibacakannya pertimbangan menjadikan pengunjung sidang seperti dibodohi,” imbuhnya.
Menurut Amir, pada amar putusan sebagaimana tertulis pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Cibinong, tertulis antara lain, terdakwa Dedi Sumrdi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pengrusakan barang milik orang lain yakni korban Suhendro.

Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan. Menetapkan, apabila dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan, karena terdakwa melakukan satu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir.
Sebagaimana diberitakan media ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, hanya menuntut terdakwa 10 bulan penjara dalam perkara pidana pengrusakan barang yang digelar di sidang Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/10/25).
JPU Bagas Sasongko yang menuntut terdakwa Dedi Sumardi 10 bulan penjara dalam perkara pidana pengrusakan barang Nomor Perkara, 435/Pid.B/2025/PN.Cbn. Padahal, terdakwa didakwa melanggar Pasal 406 KUHP dan Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman 5,6 tahun bui.
Dalam tuntutannya yang dibacakan dalam sidang dipimpin MH Achmad Taufik dengan anggota Ratmini dan Yudha Dinata serta Panitera Pengganti (PP) Sulastri Prima, JPU mengatakan, terdakwa Dedi Sumardi pada April 2024 bertempat di Blok Kina Kp Pasir Bogor Rt 02/07 Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, melakukan, merusakkan barang.
“Yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan menghancurkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, Saksi Suhendro membeli tanah oper Garapan berikut anggunannya dari sdr Rosana dengan luas sekitar 4,1 hektar dengan harga Rp.2.300.000.000,00,” ujarnya.
“Bahwa saksi Suhendo mengurus surat tanah terkait Garapan tersebut dan bangunan dan keluarlah surat pernyataan oper alih tanah garapan 45 No 593/sp/VI/2021 tanggal 10 Juni 2021, surat keterangan tidak sengketa Garapan 45 No 592/SKT/VI/2021 tanggal 10 Juni 2021 dan surat pernyataan penguasaan Fisik Garapan 45 No 592.1/01-Pem/V/2024. 01 Mei 2024,” imbuh JPU.
Menurutnya, surat pernyataan dan keterangan tidak sengketa Garapan 45 No 592.1/01-Pem/V/2024 tanggal 1 Mei 2024, kwitansi pembayaran uang muka oper alih Garap tanggal 27 Mei 2021 dan 2 lembar bukti transfer Bank CIMB Ke Huang Yu Yin tanggal 28 Mei 2021. Dokumen saksi Suhendro urus mengenai oper garap semua di ketahui Kepala Desa Cipelang.
Dijelaskan JPU, dokumen yang saksi Suhendro urus mengenai oper garapan dari sdr Rosana berdasarkan buku register Kepala Desa dan Riwayat tanah tersebut benar adalah garapan dan dimanfaatkan oleh sdr Rosana dan sebelumnya oper alih garap dari Abdullah H Eman, H. Maksum MUMUN alias ADE dan HAMBALI alias JUMENA.
Kuasa Hukum dari Saksi korban Suhendro, Amir Amirulloh didampingi Fuji Handriana dari Kantor Hukum LBH Gerakan Masyrakat Peduli Keadilan (GMPK) Ratanika, Jln. Raya Babakan Haur, Sentul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, mengatakan tuntutan 10 bulan penjara tersebut bertentangan dengan Yurisprudensi Pasal 170 KUHP.
“Yurisprudensi Pasal 170 KUHP mengatur tentang penerapan pasal pengroyokan dan kekerasan bersama-sama. Yurusprudensi utama menegaskan bahwa ”teranga-terangan” tidak harus di depan umum, tetapi cukup jika ada kmungkinan orang lain melihatnya, spserti yang tercantum dalam putusan Komisi Yudisial Karaterisasi,” ujar Amir yang ditemui usai sidang perkara tersebut.
“Selain itu, Yurisprudensi MA Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040 K/Pd/2025 Mahkamah Agung menjelaskan bahwa pengertian “terang-terangan mencakup tempat umum dan tempat yang tidak umum, tetapi dapat dilihat dari tempat umum. Sehingga, tuntutan 10 bulan jelas bertentangan dengan Yursiprudensi Pasal 170 KUHP yang telah dijadikan dasar tuntutan JPU,” imbuhnya.
Sedangkan Yurisprudensi Pasal 406 KUHP, kata Fuji, merujuk pada putusan-putusan pengadilan (terutamadari Mahkamah Agung) yang menafsirkan dan menerapkan pasal tentang pengrusakan barang milik orang lain tersebut. Yurusprudensi ini menguraikan unsur-unsur penting untuk membuktikan tindak pidana perusakan seperti unsur kesengajaan, perbuatan melawan hukum.
“Tak hanya itu, serta adanya perbuatan menghancurkan merusakan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang milik orang lain. Beberapa putusan menguatkan bahwa perbuatan tersebut tetap dapat dijerat jika dilakukan atas suruhan (sebagai doen plegen atau turut serta) dan memperjelas konsekkuwensi hukum bagi pelakunya,” tandas Fuji menambahkan.
Karenanya, maka menjadi pertanyaan besar melihat tuntutan JPU yang menuntut terdakwa Dedi Sumardi dengan tuntutan 10 bulan, yang diduga kuat mendasarkan pada Pasal 406 KUHP tersebut. Dalam tuntutan yang menjadi dasar seharusnya Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman setinggi-tinginya 5,6 tahun penjara, Bukan pada Pasal 406 KUHP dengan ancaman hukuman 1,6 tahun bui.(Ahp).



